JAKARTA – Survei Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jawa Tengah menyebutkan 7 dari 10 orang tertarik menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (<a href="https://www.trenasia.com/?s=PLTS" target="_blank" rel="noreferrer noopener">PLTS</a>) atap.



Sayangnya, 92% masih ragu terkait teknologi, harga yang relatif mahal. Serta belum mendapatkan jawaban yang tepat terkait produk dan manfaat penghematan listrik dari PLTS atap.


<ul class="wp-block-latest-posts__list wp-block-latest-posts"><li><a href="https://www.trenasia.com/11-bank-biayai-proyek-tol-serang-panimbang-rp6-triliun/">11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun</a></li>
<li><a href="https://www.trenasia.com/ptpp-hingga-mei-2021-raih-kontrak-baru-rp67-triliun/">PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun</a></li>
<li><a href="https://www.trenasia.com/rilis-rapid-fire-mnc-studios-milik-hary-tanoe-gandeng-pengembang-game-korea/">Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea</a></li>
</ul>


“Alasan kebimbangan para pelanggan untuk memasang PLTS atap adalah minimnya informasi yang terpercaya dan rendahnya sosialisasi aturan mengenai penggunaan,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengutip dari keterangan resmi, Senin, 21 Desember 2020.



Tak hanya itu, informasi mengenai <a href="https://www.trenasia.com/perjalanan-energi-surya-selama-pandemi/" target="_blank" rel="noreferrer noopener">prosedur pemasangan PLTS </a>atap tersambung jaringan (on-grid), manfaat, hingga lokasi pembelian masih terbatas dan terkonsentrasi di kota-kota besar di Pulau Jawa.



Soal harga, sebetulnya sudah ada penurunan biaya investasi PLTS atap selama tiga tahun terakhir. Semula, pengguna harus membayar sebesar Rp25 – 35 juta per kWp, kini menjadi Rp15 – 20 juta per kWP.



Begitu pula dengan harga modul surya yang turun 40% dari US$30 per Wp menjadi 20 sen per Wp.



Padahal, kata Fabby, potensi pasar di Jawa Tengah mencapai 9,6% untuk kelompok residensial, 9,8% untuk bisnis/komersial, dan 10,8% untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (<a href="https://www.trenasia.com/?s=UMKM" target="_blank" rel="noreferrer noopener">UMKM</a>). 



“Kajian IESR menunjukkan sampai 2030, potensi pasar untuk PLTS atap di Jawa dan Bali bisa mencapai 10 – 12 GW,” tambah Fabby.



<h6>Realisasi PLTS Atap</h6>



Di Indonesia, realisasi penggunaan PLTS atap belum optimal, membandingkan dengan Vietnam dalam periode 2-3 tahun terakhir, mereka mampu menggenjot instalasi hingga 1,5 GWp. Sebaliknya, Indonesia baru mencatatkan pemasangan PLTS atap kurang dari 20 MW.



Hingga akhir 2019, capaian <a href="https://www.trenasia.com/erick-thohir-genjot-energi-surya/" target="_blank" rel="noreferrer noopener">energi terbarukan </a>baru 9,15% saja. Padahal, Indonesia hanya punya 5 tahun untuk mewujudkan 23% energi terbarukan pada 2025. 



Sepanjang tiga tahun terakhir, penggunaan PLTAS atap meningkat dari 268 pada tahun 2017 menjadi lebih dari 2.500 hingga Oktober 2020.



Meski demikian, kenaikan ini masih belum cukup untuk mengejar target energi surya sesuai RUEN. Juga mencapai target Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap yaitu 1 GW kumulatif PLTS atap pada 2020.



Menurut Fabby, pemerintah dapat berfokus pada PLTS atap untuk rumah tangga, sektor bisnis dan komersial, serta UMKM. Daripada berharap pada pengembangan PLTS pada skala utilitas yang membutuhkan lahan, waktu dan pembiayaan yang cukup lama.

ANANDA.png

JAKARTA – Survei Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jawa Tengah menyebutkan 7 dari 10 orang tertarik menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Sayangnya, 92% masih ragu terkait teknologi, harga yang relatif mahal. Serta belum mendapatkan jawaban yang tepat terkait produk dan manfaat penghematan listrik dari PLTS atap. “Alasan kebimbangan para pelanggan untuk [&hellip;]

Rekomendasi

Survei IESR: 7 dari 10 Warga Jateng Tertarik Pakai PLTS Atap