Pertamina Harus Waspadai Sejarah Ambang Kebangkrutan di Era 70-an

16 Maret 2023 10:44 WIB

Penulis: Drean Muhyil Ihsan

Editor: Drean Muhyil Ihsan

SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) milik Pertamina

JAKARTA — PT Pertamina (Persero) harus mewaspadai sejumlah risiko pengembangan anak usaha menyusul adanya sejarah ambang kebangkrutan perseroan akibat ekspansi bisnis berlebihan pada era 70-an.

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menjelaskan pengembangan lini bisnis anak usaha sulit dilakukan karena sejarah dari anak usaha itu hanya berupa kegiatan penunjang untuk membantu kegiatan usaha migas.

“Saat itu, kegiatan bisnis anak usaha bukan dirancang dengan visi bisnis yang baik. Sejumlah lini bisnis anak usaha yang sudah telanjur dibangun perseroan itu merupakan sisa-sisa aset lama, dan hanya sedikit yang baru,” ujarnya saat dihubungi, Kamis, 16 Maret 2023.

Lagi pula, kata dia, pengembangan anak-anak usaha itu membutuhkan dana yang besar agar tetap berjalan sesuai yang dijanjikan kepada negara sebagai pemilik modal. “Sekarang lagi dicoba untuk menjadi subholding, agar menjadi bisnis-bisnis yang mandiri dan menghasilkan untung.”

Dalam pengembangan perseroan, seperti tertulis dalam laporan keuangan perseroan 2021, total utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) minyak dan gas itu mencapai US$19,9 miliar atau sekitar Rp283,87 triliun (kurs Rp14.265 per dolar AS) per akhir tahun 2021, setara dengan 14,11% realisasi pendapatan negara pada APBN 2021 sebesar Rp2.011,3 triliun.

Menurutnya, besaran utang untuk menghidupi anak-anak usahanya berisiko menggerus bottom line atau laba perusahaan. “Situasi itu sangat berbahaya karena bisnis utama Pertamina justru digerogoti anak usaha. Ini akan menghancurkan core bisnis paling pokok dari Pertamina.”

Persoalan muncul saat pelepasan saham anak usaha, seperti IPO PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) yang bisa menjadi risiko baru bagi perseroan. Jika salah kelola, negara juga harus menelan pil pahit.

Jangan sampai, lanjut Salamuddin, manajemen Pertamina yang saat ini dinakhodai Nicke Widyawati mengikuti jejak Ibnu Sutowo yang pernah membuat perusahaan minyak nasional itu berada pada ambang kebangkrutan.

Seperti diketahui, jelasnya, pada zaman kepemimpinan Ibnu Sutowo, orang asing memandang Pertamina adalah perusahaan terbesar di Asia. “Saat itu, pendapatan negara memang bersumber dari migas,” ungkapnya.

Namun demikian, kebijakan-kebijakan yang diambil Ibnu Sutowo dalam mengembangkan anak usaha itu justru membawa bencana. Sejumlah anak usaha yang digadang-gadang menjadi penopang bisnis tak kunjung profit.

Kondisi saat itu, membuat keuangan Pertamina kacau pada pertengahan 1975 saat perseroan tidak lagi mampu membayar sejumlah kewajiban pada sejumlah proyeknya.

Mengutip The New York Times terbitan 17 November 1977 berjudul Pertamina: Pelajaran untuk Perbankan Dunia, menegaskan bahwa sistem perbankan internasional nyaris terdampak kebangkrutan negara monopoli minyak.

Pertamina, hampir memicu serangkaian gagal bayar atas pinjaman bank asing senilai setidaknya US$6,5 miliar. Saat itu, Pertamina dinyatakan tidak mampu membayarnya pada awal 1975. Beberapa bank mendesak pemerintah untuk menutupi utang perusahaan minyak tersebut dengan tenor 365 hari itu.

Berita Terkait