IDHAM.png

JAKARTA – Laporan Best Brokers 2024 menempatkan Indonesia di peringkat empat negara dengan harga rumah paling tidak terjangkau di dunia. Laporan tersebut menunjukkan rasio harga rumah terhadap pendapatan rata-rata mencapai 48,35%.&nbsp;Artinya, hampir setengah dari penghasilan setahun harus dikeluarkan hanya untuk membeli 1 meter persegi rumah. Data lain juga mencatat harga rumah di sejumlah kota besar setinggi belasan hingga puluhan kali lipat pendapatan warga.&nbsp;Menurut riset LPEM FEB UI pada 2024, harga rata-rata rumah baru di Medan mencapai 23,5 kali pendapatan tahunan, di Surabaya sekitar 21,3 kali, dan di Jakarta 19,8 kali gaji tahunan. Di Jabodetabek, harga tanah di Jakarta per meter persegi saat ini mencapai rata-rata Rp15,97 juta.&nbsp;Harga ini mencerminkan tren kenaikan yang signifikan, seiring dengan perkembangan infrastruktur perkotaan yang terus berlangsung. Hal ini menyebabkan banyaknya kelas menengah yang sulit untuk mendapatkan hunian.&nbsp;Permintaan vs. Suplai: Kesenjangan yang Mencipta Krisis&nbsp;Berdasarkan data Kementerian PUPR, backlog perumahan Indonesia mencapai hampir 9,9 juta unit hingga akhir 2024 karena suplai tak mampu mengejar permintaan. Kelangkaan lahan di kawasan perkotaan memaksa harga tanah dan rumah melambung.&nbsp;Bank Indonesia mencatat Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) masih tumbuh positif walau tipis (misalnya +1,07% yoy Q1-2025). Namun, pertumbuhan yang kecil itu sebenarnya sudah menandakan pasar yang jenuh, terutama ketika penjualan rumah tipe menengah dan besar turun drastis (−35,8% dan −11,7% yoy Q1-2025).&nbsp;Artinya, meski suplai baru terus bertambah, serapan pasar belum optimal. Data Leads Property menunjukkan pasokan rumah tapak di Jabodetabek pada 2024 sekitar 14.000 unit, namun hanya sekitar 10.000–11.000 yang terjual (turun 25% dibanding 2023).&nbsp;Penurunan permintaan ini dipicu oleh harga jual yang melambung tinggi – misalnya di Depok naik 12% dan Jakarta 5% – hingga banyak pembeli mundur dan pengembang harus menawarkan diskon besar.&nbsp;<ul><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.com/read/pemimpin-bca-raih-penghargaan-dari-lembaga-riset-european-asian-management-institute">Pemimpin BCA Raih Penghargaan dari Lembaga Riset European-Asian Management Institute</a></li><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.com/read/gema-dividen-jelang-rupst-bumn-tambang-ptba-antm-atau-tins-mana-paling-royal">Gema Dividen Jelang RUPST BUMN Tambang: PTBA, ANTM, atau TINS Mana Paling Royal?</a></li><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.com/read/daftar-gelombang-phk-massal-2025-terbaru-tik-tok-shop">Daftar Gelombang PHK Massal 2025, Terbaru TikTok Shop</a></li></ul>Spekulasi dan Investor: Rumah sebagai Komoditas&nbsp; Fenomena lain yang mendorong harga naik adalah peran spekulasi dan investor properti. OJK menyebut sebagian besar kenaikan harga terjadi pada rumah kecil-menengah yang kerap dijadikan investasi, bukan hunian. Banyak kalangan mampu membeli lebih dari satu rumah sebagai aset, membuat stok hunian terbatas bagi pembeli pertama.&nbsp;"Pertumbuhan harga properti terutama untuk tipe kecil dan menengah itu masih disebabkan karena spekulasi dan kebiasaan konsumen menjadikan properti sebagai sarana investasi untuk dijual kembali di masa depan, bukan sarana tempat tinggal," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae dalam acara Dialog bersama Asosiasi Pengembang dalam Rangka Percepatan Penyaluran Program 3 Juta Rumah di Jakarta akhir tahun lalu.&nbsp;Akibatnya, meski ekonominya tumbuh, kecenderungan harga rumah tetap jauh di depan inflasi. Laporan Rumah123 (Feb 2025) mencatat rata-rata pertumbuhan harga properti per kota (0,9% yoy) melampaui inflasi kota setempat, menandakan properti masih sangat menarik bagi investor.&nbsp;Terbatasnya Lahan dan Regulasi yang Rumit&nbsp;Berkurangnya lahan kosong di kota besar memperketat suplai rumah. Data Cushman &amp; Wakefield menyebut rata-rata harga tanah di Jakarta per meter persegi sudah hampir Rp16 juta. Pembangunan infrastruktur (MRT, LRT, jalan tol) memang meningkatkan nilai lahan, tapi juga membuat harga rumah jadi kian mahal.&nbsp;Program 3 Juta Rumah&nbsp;Pemerintah tengah menggenjot program ambisius pembangunan 3 juta rumah sebagai solusi, namun banyak kalangan menilai bahwa proyek ini harus dibarengi dengan pembenahan sistemik dan kebijakan menyeluruh agar benar-benar tepat sasaran.&nbsp;Ir. Muhammad Nur Sahid, M.T., M.M., ahli manajemen konstruksi dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), menyampaikan kekhawatirannya terhadap efektivitas subsidi perumahan jika tidak dibarengi dengan kebijakan konkret terkait harga tanah dan seleksi penerima bantuan.&nbsp;“Yang jadi persoalan itu siapa yang akan menerima subsidi itu. Programnya memang bagus, tapi peruntukannya harus lebih spesifik. Karena banyak sekali ketidaktepatan subsidi,” ujar Nur Sahid&nbsp; melalui situs resmi Universitas Muhammadiyah Surakarta, dikutip Senin, 2 Juni 2025.&nbsp;Salah satu tantangan utama dalam penyediaan rumah subsidi adalah harga tanah yang terus melonjak, terutama di kawasan urban dan penyangga kota besar. Menurut Nur Sahid, tingginya harga tanah membuat biaya produksi rumah menjadi tidak terjangkau bagi MBR, meskipun pemerintah telah memberikan subsidi sekitar 7% sampai 10%.&nbsp;“Biaya produksi rumah tinggi. Harga tanahnya mahal. Tapi masyarakat tidak bisa menjangkau itu (membeli rumah), meskipun pemerintah telah mensubsidi. Jadi harus ada intervensi yang lebih dari sekadar subsidi,” tegasnya.&nbsp;Ia menyarankan pemerintah menyediakan tanah negara atau mempercepat reforma agraria untuk mendukung pembangunan rumah subsidi. Tanpa langkah konkret tersebut, program 3 juta rumah dikhawatirkan hanya akan menjadi proyek formalitas yang gagal menjawab kebutuhan riil masyarakat.&nbsp;“Kalau tidak ada ketersediaan tanah atau kontrol harga tanah, ya tetap saja rumah itu tidak akan terbeli oleh masyarakat kecil. Subsidi itu hanya akan jadi kosmetik,” imbuhnya.&nbsp;Permasalahan Pendataan dan Ketidaktepatan Sasaran&nbsp;Menurut Nur Sahid, persoalan lainnya adalah lemahnya mekanisme pendataan calon penerima rumah subsidi. Dalam banyak kasus, rumah subsidi justru jatuh ke tangan mereka yang seharusnya tidak berhak, seperti investor properti atau masyarakat menengah yang memiliki akses informasi dan modal lebih besar.&nbsp;Nur Sahid mendorong pemerintah melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam proses verifikasi penerima manfaat. Menurutnya, LSM memiliki jaringan dan kedekatan yang lebih kuat dengan masyarakat lapisan bawah, sehingga bisa membantu meminimalkan risiko kesalahan sasaran.&nbsp;“LSM itu lebih dekat ke lapangan, mereka lebih paham siapa yang benar-benar membutuhkan. Libatkan mereka untuk mencegah kesalahan sasaran dan potensi penimbunan properti oleh spekulan,” katanya.&nbsp;Selain itu, ia menilai bahwa sistem digitalisasi pendataan juga perlu ditingkatkan agar tidak membuka celah manipulasi. Verifikasi silang antara data kependudukan, data pajak, dan catatan kepemilikan aset perlu dilakukan secara ketat.&nbsp;Baca Juga: <a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://m.trenasia.com/anggaran-cekak-pemerintah-batal-beri-diskon-tarif-listrik-50-persen">Anggaran Cekak, Pemerintah Batal Beri Diskon Tarif Listrik 50 Persen</a>Regulasi Tumpang Tindih Hambat Realisasi&nbsp;Meskipun niat pemerintah untuk menyediakan hunian layak sudah sangat baik, namun pelaksanaannya kerap tersandung pada masalah koordinasi dan regulasi yang tumpang tindih. Menurut Nur Sahid, tidak sinkronnya peraturan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sering menjadi batu sandungan dalam implementasi proyek konstruksi, termasuk proyek rumah rakyat.&nbsp;“Integrasi peraturan antara pusat, regional, dan daerah itu penting agar komunikasi antara pemangku kebijakan dengan kontraktor tidak mandek. Tapi yang terjadi, peraturannya sudah ada, tapi implementasinya di lapangan yang susah,” ujarnya.&nbsp;Ia mencontohkan, dalam beberapa proyek, perbedaan penafsiran aturan antara kementerian dan dinas daerah mengakibatkan keterlambatan proses, serta menimbulkan biaya tambahan bagi kontraktor. Hal ini tentu berdampak langsung pada harga rumah yang ditawarkan ke masyarakat.&nbsp;Untuk itu, ia mendesak agar pemerintah menyusun satu regulasi induk yang dapat menjadi acuan tunggal semua pemangku kepentingan. Regulasi ini juga perlu diperkuat dengan sanksi hukum bagi pihak-pihak yang menyimpang dari pelaksanaannya.&nbsp;Premanisme dan Oportunisme Masih Menghantui&nbsp;Permasalahan lain yang turut memperparah sulitnya akses masyarakat terhadap hunian adalah praktik-praktik tak etis yang terjadi di lapangan. Nur Sahid menyebut bahwa dalam pelaksanaan proyek konstruksi, terutama yang berskala besar seperti program 3 juta rumah, kerap terjadi intervensi dari kelompok tertentu yang menuntut “jatah” proyek.&nbsp;“Saat saya bangun rumah sakit di Solo, kami sampai harus studi kelayakan berkali-kali hanya untuk mengakomodasi dana ekstra bagi ormas lokal. Ini bukan hanya memperlambat pekerjaan, tapi juga menambah beban biaya,” tuturnya.&nbsp;Ia menyebut praktik semacam ini membuat banyak investor dan kontraktor enggan berinvestasi di dalam negeri. Bahkan, sebagian dari mereka memilih untuk mengambil proyek di luar negeri demi menghindari praktik ‘biaya siluman’.&nbsp;“Makanya banyak pengusaha Indonesia yang lari ke luar negeri. Karena ada yang dipatok oleh pemerintah. Itu (jatah preman) juga cost,” tambahnya.&nbsp;Pemerintah, kata dia, perlu menertibkan praktik premanisme dan oportunisme yang membebani sektor konstruksi. Bila tidak, pembangunan rumah rakyat akan terus dihambat oleh kepentingan-kepentingan yang tidak sehat.&nbsp;Kepastian Anggaran Harus Dijamin&nbsp;Dalam proyek infrastruktur seperti ini, keberlanjutan dan kepastian anggaran menjadi elemen vital. Menurut Nur Sahid, kontraktor sangat bergantung pada kelancaran pembayaran dari pemerintah agar proyek dapat terus berjalan tanpa hambatan.&nbsp;“Kalau ada PP (Peraturan Pemerintah), kontraktor bisa menggugat kalau ada masalah. Jadi ada payung hukum yang menjamin mereka tidak dirugikan bila anggaran macet di tengah jalan,” jelasnya.&nbsp;Ia menyarankan agar pemerintah menetapkan dasar hukum yang kuat untuk menjamin ketersediaan dana, tidak hanya pada tahun berjalan, tapi juga untuk tahun-tahun berikutnya. Ini penting untuk membangun kepercayaan antara pemerintah dan pihak swasta.&nbsp;Selain itu, pemberian stimulus bagi kontraktor juga perlu diatur secara bijak. Stimulus yang diberikan harus sebanding dengan kualitas hasil kerja yang ditawarkan.&nbsp;“Stimulus itu perlu, tapi harus dibatasi sesuai kualitas bangunan yang dihasilkan. Jangan sampai stimulusnya grade A, tapi bangunan yang jadi malah grade rendah,” tegasnya.&nbsp;Keterlibatan Masyarakat dan Pengawasan Independen&nbsp;Agar program ini benar-benar berjalan sesuai harapan, Nur Sahid menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan. Ia mendorong adanya ruang partisipasi publik, baik dalam bentuk forum warga, pelibatan LSM, maupun kanal aduan yang efektif.&nbsp;“Program ini besar, jadi harus dibuka seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut mengawasi. Jangan sampai pelaksanaan proyek hanya dikuasai elite atau pemilik modal,” katanya.&nbsp;Tak hanya itu, ia juga mengusulkan pembentukan tim pengawas independen yang terdiri dari auditor, akademisi, serta perwakilan masyarakat. Tim ini, menurutnya, bisa membantu mencegah korupsi, mark up anggaran, dan permainan tender.&nbsp;“Harus ada audit dari BPK dan KPK sejak awal. Jangan nanti setelah rumah rusak baru ribut,” tegasnya.&nbsp;Momentum Reformasi Perumahan Nasional&nbsp;Program 3 juta rumah bisa menjadi titik balik bagi reformasi kebijakan perumahan nasional jika dijalankan dengan cermat dan penuh integritas. Selain menjawab backlog hunian yang hingga kini masih di atas 12 juta unit, proyek ini juga bisa menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi di sektor konstruksi dan industri turunannya.&nbsp;Namun, seperti yang diingatkan oleh Nur Sahid, proyek sebesar ini membutuhkan fondasi kuat berupa regulasi yang jelas, pengawasan yang ketat, serta transparansi di semua tahap. Tanpa itu semua, program yang semestinya menjadi solusi bisa berubah menjadi sumber masalah baru.&nbsp;“Ini bukan proyek kecil. Kalau tidak dikerjakan dengan hati-hati, risikonya besar. Tidak hanya anggaran yang terbuang, tapi juga bisa memicu ketimpangan baru di masyarakat,” ujarnya.&nbsp;Sulitnya masyarakat memperoleh hunian bukan hanya soal kemampuan finansial, melainkan juga dampak dari tumpang tindihnya kebijakan, lemahnya pengawasan, hingga keberadaan aktor-aktor yang merusak ekosistem konstruksi. Dalam konteks inilah, proyek 3 juta rumah harus dibingkai bukan sekadar target angka, tapi sebagai langkah nyata untuk mewujudkan keadilan sosial di bidang perumahan.&nbsp;Pemerintah pun didorong untuk merancang kebijakan yang menyeluruh—mulai dari kontrol harga tanah, perbaikan sistem subsidi, hingga pemberantasan premanisme di proyek konstruksi. Hanya dengan cara itu, cita-cita menjadikan rumah sebagai hak dasar dan bukan lagi komoditas semata bisa benar-benar terwujud.&nbsp;Upaya Mengatasi Backlog: Kebijakan dan Insentif&nbsp;Menanggapi lonjakan harga, pemerintah dan pengembang mulai merancang kebijakan solusi. Salah satu langkah terbesar adalah insentif pajak untuk meringankan beban pembeli. Pemerintah telah memperpanjang insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) 100% untuk rumah tapak dan rumah susun hingga Juni 2025. Artinya, pembeli rumah dengan harga sampai Rp2 miliar tidak dikenakan PPN (PPN 0%). Skema ini diperluas lagi di semester II-2025 dengan subsidi 50% untuk batas harga yang sama.&nbsp;Selain itu, pemerintah merencanakan penghapusan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) dan pembebasan retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Langkah ini diharapkan bisa menurunkan biaya perolehan rumah dan menambah daya beli.&nbsp;Apersi (Asosiasi Pengembang) bahkan mengusulkan kenaikan harga maksimal rumah subsidi menjadi Rp250 juta agar menyasar golongan pendapatan lebih luas (meski usulan ini lebih berfokus pada perluasan target, bukan penurunan harga). Di sisi suplai, pembangunan rumah KPR sejuta, perbaikan tata ruang, dan pemanfaatan tanah idle terus dipacu agar ketersediaan hunian meningkat. Langkah-langkah kolaboratif ini diharapkan bisa menambah stok rumah yang lebih terjangkau dan menekan kecenderungan spekulasi.&nbsp;Contoh Kebijakan Internasional&nbsp;Berbagai negara di Asia pun menerapkan kebijakan unik untuk mengatasi perumahan. Misalnya, Singapura melalui Housing Development Board (HDB) secara rutin membangun hunian bersubsidi. Tahun 2025, Singapura merencanakan pembangunan sekitar 26.000 unit rumah baru di kawasan Sembawang Utara dan Woodlands.&nbsp;Namun, harga rumah bersubsidi di sana pun tergolong tinggi (sekitar S$540.000–590.000, setara Rp6–7 miliar untuk flat 4 kamar). Hal ini mengilustrasikan bahwa meski pasokan ditambah, faktor lahan dan kemahalan di lokasi strategis tetap menjadi tantangan global.&nbsp;Negara lain misalnya menerapkan pajak progresif atas kepemilikan properti kedua atau kebijakan “jangka waktu sewa batas” untuk menekan spekulasi. Dalam konteks ini, kebijakan Indonesia seperti insentif pajak, subsidi, dan peningkatan suplai mirip dengan praktik internasional, namun tantangannya tetap unik: populasi yang besar dan arus urbanisasi sangat cepat.&nbsp;<ul><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.com/read/daftar-9-drakor-terbaru-tayang-juni-2025-ada-squid-game-3">Daftar 9 Drakor Terbaru Tayang Juni 2025, Ada Squid Game 3</a></li><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.com/read/strategi-dua-mesin-brpt-lambungkan-target-harga-saham-ke-level-ini">Strategi Dua Mesin BRPT Lambungkan Target Harga Saham ke Level Ini</a></li><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.com/read/tren-dividen-telkom-tlkm-dalam-satu-dekade-stabil-dan-cenderung-meningkat">Tren Dividen Telkom (TLKM) dalam Satu Dekade, Stabil dan Cenderung Meningkat</a></li></ul>Fenomena naiknya harga rumah di kota-kota besar Indonesia adalah hasil akumulasi faktor permintaan tinggi (urbanisasi, budaya kepemilikan), suplai terbatas (lahan dan izin terhambat), dan spekulasi pasar. Data Best Brokers dan lembaga riset lokal menegaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir harga rumah tumbuh jauh di atas tingkat pendapatan dan inflasi.&nbsp;Ahli menekankan perlunya intervensi terpadu: mempercepat pembangunan rumah bagi MBR (melalui program 3 juta rumah, subsidi, relaksasi regulasi), sekaligus mengendalikan spekulasi (misalnya lewat aturan kepemilikan dan pajak).Pemerintah, pengembang, dan masyarakat diharapkan bergerak bersama: pemerintah memberi insentif dan kebijakan pro-rumah, pengembang lebih aktif menyediakan opsi terjangkau, dan masyarakat mengikuti aturan kepemilikan yang bertanggung jawab. Hanya dengan langkah komprehensif inilah masalah keterjangkauan rumah di Indonesia dapat diatasi.

IMG_20240808_234928.jpg

Upaya Pemerintah Atasi Backlog Perumahan dari Waktu ke Waktu 

Laporan Best Brokers 2024 menempatkan Indonesia di peringkat empat negara dengan harga rumah paling tidak terjangkau di dunia. Laporan tersebut menunjukkan rasio harga rumah terhadap pendapatan rata-rata mencapai 48,35%. Artinya, hampir setengah dari penghasilan setahun harus dikeluarkan hanya untuk membeli 1 meter persegi rumah. 

Harga Emas Hari Ini

Krisis Perumahan: Ketika Hunian jadi Komoditas, Bukan Pemenuhan Kebutuhan