Halo Effect: Biang Kerok Dibalik 'Keadilan Sosial Bagi Warga Good Looking'

14 Maret 2023 15:30 WIB

Penulis: Rumpi Rahayu

Editor: Ananda Astri Dianka

Halo Effect: Biang Kerok Dibalik 'Keadilan Sosial Bagi Warga Good Looking' (Pexels : Alan Mask)

JAKARTA - Sudah berapa kali Anda menemui fenomena dimana orang-orang yang memiliki fisik dan penampilan lebih menarik cenderung lebih disukai orang? Bahkan, banyak orang yang tak segan membantu mereka jika mereka menemui kesulitan.

Ilmu psikologi memiliki sebutan untuk menggambarkan fenomena ini yaitu "Halo Effect".

Melansir dari laman website verywellmind, halo effect adalah jenis bias kognitif di mana kesan keseluruhan kita tentang seseorang mempengaruhi perasaan dan pemikiran kita tentang karakter mereka.

Singkatnya, persepsi dari satu sifat seseorang dapat terbawa dan mempengaruhi bagaimana orang memandang aspek lain dari orang tersebut. Contohnya adalah ketika kita memiliki kesan bahwa seseorang baik maka evaluasi kita terhadap sifat mereka yang lain juga ikut terpengaruh seperti selain baik, mereka juga pintar.

Penampilan fisik seringkali menjadi hal utama dari halo effect. Orang-orang yang dianggap menarik cenderung dinilai lebih tinggi pada sifat-sifat positif lainnya.

Salah satu contoh lain dari halo effect adalah selebritas. Ketika kita memiliki kesan bahwa mereka menarik, sukses, dan menyenangkan, kita juga cenderung melihat mereka sebagai orang yang cerdas, baik hati, dan lucu.

Istilah halo effect pertama kali dikenalkan oleh Psikolog Edward Thorndike dalam makalahnya yang berjudul "The Constant Error in Psychological Ratings." di tahun 1920. Thorndike meminta para komandan di militer untuk mengevaluasi berbagai kualitas prajurit bawahan mereka. Karakteristik ini mencakup hal-hal seperti kepemimpinan, penampilan fisik, kecerdasan, kesetiaan, dan ketergantungan.

Tujuan Thorndike adalah untuk menentukan bagaimana penilaian dari satu kualitas bercampur dengan penilaian karakteristik lainnya. Dia menemukan bahwa peringkat tinggi dari kualitas tertentu berkorelasi dengan peringkat tinggi dari karakteristik lain, sedangkan peringkat negatif dari kualitas tertentu juga menyebabkan peringkat yang lebih rendah dari karakteristik lainnya.

"Korelasinya terlalu tinggi dan terlalu rata," tulis Thorndike. "Misalnya, untuk tiga penilai yang dipelajari selanjutnya, korelasi rata-rata untuk fisik dengan kecerdasan adalah 0,31; untuk fisik dengan kepemimpinan, 0,39; dan untuk fisik dengan karakter, 0,28."

Beberapa penelitian berbeda telah menemukan bahwa ketika kita menilai orang sebagai orang yang tampan atau cantik, kita juga cenderung percaya bahwa mereka memiliki sifat kepribadian yang positif dan bahwa mereka lebih cerdas. Studi lain bahkan menemukan bahwa hakim cenderung tidak percaya bahwa orang yang berpenampilan menarik bersalah atas perilaku kriminal.

Namun, tak selalu halo effect berlaku seperti yang telah disebutkan. Studi lain telah menemukan bahwa beberapa orang menganggap berpenampilan fisik itu tidak ada gunanya, tidak jujur, dan mereka hanya menggunakan daya tarik mereka untuk memanipulasi orang.

Halo effect hanyalah salah satu dari banyak bias yang memungkinkan seseorang membuat keputusan cepat yang mungkin saja tidak tepat. Jadi, menyadari halo effect tidak serta merta membuat kita mudah untuk menghindari efeknya terhadap persepsi dan keputusan kita kepada orang lain. 

Berita Terkait