JAKARTA—Meningkatnya jumlah transaksi belanja di e&#8211;commerce selama masa pandemi COVID-19 dan kasus bocornya data pribadi pengguna Tokopedia harus segera menjadi perhatian. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan, pengesahan terhadap RUU Perlindungan Data Pribadi mendesak dilakukan.



“Belum lagi, COVID-19
telah mengubah cara masyarakat dalam beraktivitas, terutama dalam menggunakan
perangkat digital. Adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan
imbauan social distancing menyebabkan semakin banyak konsumen melakukan
transaksi secara online,” kata dia di Jakarta, Rabu, 6 Mei 2020.



Dia memaparkan, data dari Analytics Data Advertising (ADA) yang menunjukkan adanya peningkatan penggunaan aplikasi lebih dari 400% pada pertengahan bulan Maret lalu. Hal ini dikarenakan kebijakan bekerja dari rumah yang mengharuskan pekerja melakukan komunikasi dan pertemuan secara digital.



Ira mencontohkan, penyalahgunaan data pribadi di e-commerce setidaknya diatur oleh UU Telekomunikasi, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Perlindungan Konsumen, UU Perdagangan, dan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri turunannya. Hal ini menunjukkan, urusan perlindungan data pribadi merupakan kewenangan Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.



“Lemahnya
kerangka kebijakan dan implementasi perlindungan data pribadi membuat konsumen sangat
bergantung pada tindakan bisnis bertanggung jawab (responsible business
conduct) yang dilakukan secara mandiri (self-regulatory),” lanjut dia. 



Dia menyebutkan,
pada September lalu, tiga asosiasi fintech (Aftech, AFPI, dan AFSI) melakukan penandatanganan
kode etik bersama terkait perlindungan konsumen, perlindungan privasi dan data
pribadi, mitigasi risiko siber, dan mekanisme minimal penangananan aduan
konsumen.



RUU Perlindungan
Data Pribadi idealnya mengatur hak dan kewajiban antara penyedia layanan dengan
konsumen untuk memperjelas tujuan penggunaan data pribadi dan data apa saja
yang boleh diakses oleh penyedia layanan yang berhubungan dengan transaksi
tersebut.



“Saat ini,
keamanan siber Indonesia cukup rendah. Indonesia berada pada ranking 41 di
Global Cybersecurity Index yang dirilis oleh International Telecommunication
Union (ITU), jauh tertinggal dari negara-negara ASEAN seperti Singapura,
Malaysia, dan Thailand,” kata dia.



Sementara itu, pembahasan
RUU Siber saat ini belum terjadi progres. Di Indonesia hanya terdapat hukum
terkait siber pada sektor pertahanan dan belum pada komersial dan penggunaan
secara umum, yang juga beririsan dengan perlindungan konsumen dan perlindungan
data.



“Jika RUU PDP
dilegislasi, pengendali data wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis paling
lambat 72 jam kepada pemilik data dan instansi pengawas jika terjadi data
breach atau kegagalan perlindungan data pribadi,” ungkap dia.



Ira menambahkan,
bahwa pengguna harus diberikan langkah-langkah jelas oleh pengendali data
misalnya agar mengubah password, melapor jika kehilangan akses, menggunakan two
factor authentification, agar waspada pada email atau SMS phising, dan juga
agar menghubungi Lembaga keuangan jika penyalahgunaan data keuangan terjadi.

whatsapp-1212017_1920

JAKARTA—Meningkatnya jumlah transaksi belanja di e&#8211;commerce selama masa pandemi COVID-19 dan kasus bocornya data pribadi pengguna Tokopedia harus segera menjadi perhatian. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan, pengesahan terhadap RUU Perlindungan Data Pribadi mendesak dilakukan. “Belum lagi, COVID-19 telah mengubah cara masyarakat dalam beraktivitas, terutama dalam menggunakan perangkat digital. Adanya kebijakan [&hellip;]

Rekomendasi

Banyak Kebocoran, RUU Perlindungan Data Harus Segera Ditetapkan